MISTERI TUJUANMU, FIKSI MINI

source image from google


Hari ini aku mengajar membaca untuk anak-anak pemulung di Tanah Gocap, Tangerang. Tempatnya jauh dari rumah namun hati ini sudah bertekad untuk mengajar mereka. Kami terbagi beberapa tim. Aku satu tim dengan Kans.

Mama mengijinkan aku pergi mengajar. Kans adalah anak dari Tante Vera dan kami sudah saling mengenal sejak lama. Kans pemuda yang bertanggungjawab.


Kans menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Kami tidak dapat membawa mobil karena jalan menuju tempat belajar sempit. 

Selesai makan, kami bergegas menuju Tanah Gocap. Anak-anak telah menunggu kami. Mereka sangat bersemangat. Di tangan mereka sudah siap buku dan alat tulis. Aku sangat senang melihatnya.


Kami pun belajar di ruangan terbuka, di atas karpet yang digelar di depan kuburan Belanda. Antara rumah penduduk dan kuburan hanya berjarak satu meter saja. Pertama kali aku ke sana, aku sempat takut. Berbagai imajinasi bermunculan. Kans tertawa melihatku. Ia menggengam erat tanganku dan menatapku. Seakan berkata kalau aku tidak perlu takut karena ia akan menjagaku. Ia kakak yang baik.


Menyedihkan ketika mengetahui bahwa anak-anak lucu ini tidak pernah bersekolah. Mereka semua belum dapat membaca. Aku dan Kans mengajar dari dasar. Telah beberapa bulan kami berdua setia mengajar di sana. Kami pun menjadi dekat dengan mereka.


Pelajaran telah selesai. Kans masih bermain dengan anak-anak. Bu Romlah duduk menemaniku di karpet.

"Bu, aku baru lihat. Ternyata di sudut sana ada kuburan kecil," kataku, penasaran. Aku ingin sekali mengetahui tentang kuburan tersebut.

"Itu kuburan anak kecil. Ia meninggal di usia 9 tahun karena sakit," jelas Bu Romlah. 

Aku menganggukkan kepala. Kans masih belum selesai bermain dengan anak-anak. Ia sengaja belajar sulap agar lebih menarik perhatian. Sepertinya berhasil, anak-anak berteriak seru. Aku tersenyum. Sementara itu, Bu Romlah pamit ke dapur.

***

Aku mulai membereskan peralatan mengajar di karpet depan. Seorang gadis kecil menghampiriku.

"Siang, Kakak. Aku boleh ikut belajar membaca, Ka?" tanya seorang gadis kecil. Ia sangat cantik. 

"Siang, sayang. Mau belajar ya? Boleh. Hari ini belajarnya sudah selesai. Lusa kakak akan ke sini lagi. Siapa namamu?" 

"Linda, Ka," jawabnya, pelan.

"Linda sudah punya buku dan alat tulis? Selama ini Kakak belum pernah melihat Linda. Linda tinggal di mana?" tanyaku, lembut.


Linda sangat menarik perhatianku. Ia terlihat begitu ringkih. Begitu lemah.

"Aku belum punya buku dan alat tulis, Ka."

"Kakak akan membawanya nanti ya."

"Baik, Ka. Linda mau pulang dulu," pamit Linda.

"Baik. Hati-hati ya," kataku, sambil mengusap lembut rambutnya.


Linda pun berlalu. Aku kembali membereskan bahan peraga untuk mengajar. Bu Romlah keluar sambil membawa singkong goreng dan teh hangat. 

"Nak, dimakan dulu."

"Wah, aku sangat suka singkong. Terima kasih ya, Bu."


Kans menghampiri kami. Ia duduk di sampingku. Kans terlihat lelah. Ia mengambil air minum dan langsung menghabiskannya. Mataku membulat karena Kans minum dari gelasku. 

"Kakak salah ambil gelas minum. Itu gelasku, Ka ," kataku, pelan.

Kans menatapku. Aku baru menyadari kalau ia mempunyai mata yang indah. Kans memang blasteran. Selama ini aku sama sekali tidak pernah memperhatikan. Kans hanya diam dan memakan singkong. Akhirnya, aku juga diam.


"Bu, tadi ada anak perempuan ke sini. Dia tertarik untuk belajar," kataku, memecahkan keheningan.

"Siapa, Nak Dee?"

"Namanya Linda, Bu," jawabku

Bu Romlah terlihat kaget.

"Linda itu rambutnya panjang, mukanya agak pucat, dan bicaranya halus, Nak Dee?" 

"Benar, Bu. Linda tinggal di mana ya, Bu? Tadi ia pulang sendiri. Kasihan."


Bu Romlah terdiam. Aku memandangnya bingung. Kans menatap kami.

"Nak, yang tadi bukan Linda. Linda sudah meninggal sejak tujuh tahun yang lalu," jawab Bu Romlah, pelan. Ia tidak ingin mengejutkanku.


Mataku terbelalak, mulutku terbuka. Aku menatap Kans dengan tatapan takut. Makin lama, penglihatanku memudar. Ya, aku pingsan dalam pelukan Kans.

***

Kans mengantarku pulang. Mama masih harus bertemu dengan client. Mama baru pulang menjelang malam. Aku ketakutan ketika Kans pamit pulang.

"Ka, jangan pulang ya. Aku takut. Kakak pulangnya nanti kalau Mama sudah di rumah ya, Ka. Please," pintaku, memelas.

Kans menatapku. "Kakak ijin dulu sama Mama ya," katanya lembut, hendak meninggalkanku untuk menelepon.


Aku menarik tangan Kans. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mengijinkan ia pergi. Akhirnya Kans menghubungi Tante Vera di dekatku. Tante mengijinkan Kans menemaniku. Sementara itu, aku begitu ketakutan. Airmataku telah menetes. Kans menatapku dalam. Menghela napas kemudian ia memelukku erat. Aku nyaman.

"Kakak akan pulang nanti kalau Tante sudah sampai di rumah. Kamu tenang saja," kata Kans, menenangkanku.

Aku duduk bersandar pada dada Kans. Aku sudah tidak memikirkan apa pun. Ketakutanku lebih besar daripada malu. Kans mengelus lembut rambutku. Tiba-tiba dadaku berdebar kencang. Seakan tubuhku dialiri listrik. Kans sepertinya tidak sadar akan kelakuannya. 

***

Suasana hening. Kans tetap memelukku dan mengelus rambutku. Sementara jantungku semakin tak terkondisikan.

"Dee, Kakak mau bicara sebentar," panggil Kans, lembut.

"Ya, Ka," jawabku, jantungku tiba-tiba berdebar kencang.

"Dee, Kakak sayang kamu. Kamu mau jadi kesayangan Kakak?" tanya Kans, menatap dan memegang lembut bahuku.


Aku terkejut. Diam sambil menundukkan kepala. Aku malu. Rona merah memenuhi wajahku.

"Dee," panggil Kans, lembut.

Aku mengangkat wajahku. Mataku bertemu dengan matanya. Kami saling menatap lama. Aku kembali menunduk.

"Tadi Kakak pikir hanya menyayangimu seperti adik. Namun sejak melihat kamu ketakutan karena Linda, Kakak jadi ragu. Kakak tidak tega melihat kamu menangis. Hati Kakak sakit. Kakak baru menyadari kalau ternyata Kakak mencintaimu," lanjut Kans, panjang lebar.

"Kamu mau menerima Kakak? Lihat Kakak, Dee," lanjutnya lagi.


Aku mengangkat wajahku. Kembali mata itu menghipnotisku. Kans menatapku dalam. Aku bisa merasakan kasih sayang melalui binar matanya . Aku nyaman bersama Kans. Kans menunggu jawabanku. Aku melihat padanya lalu mengangguk pelan. Rona merah kembali bermain di wajahku.

Kans memelukku erat. "Terima kasih, Dee. Kakak sayang kamu," bisiknya di telingaku. Dadaku kembali berdebar kencang. Tubuhku kembali merasakan listrik itu. Namun aku bahagia. Aku mempunyai Kans sekarang. Seseorang yang selalu membuatku nyaman akan kehadirannya.

***

"Ah, Linda. Inikah tujuanmu menemuiku?" batinku.

"Aku berdoa kamu tenang di alam sana," lanjutku, tulus.






Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer